Sabtu, 16 April 2011

JEJAK ANAK-ANAK DALAM KELOMPOK SUPORTER

01 Januari 2011
“Pokoke nek aku ketemu uwong sing nganggo kaos ijo(slemania) meh tak bandem… “, kata itu terucap begitu saja dari mulut seorang anak kecil disebuah kampung di kecamatan Wirobrajan Yogyakarta. Barangkali umurnya tidak lebih dari 15 tahun, perkiraan saya sekitar 11 tahun. Anak itu masih ABG, tidak juga, bagiku itu masih anak-anak. Saya pikir dia belum terlalu lama dipisahkan dari air susu ibunya. Saya melihatnya sekali lagi, kelihatan cukup emosional, marah, namun satu hal yang tidak bisa disingkirkan bergitu saja dari raut wajahnya, innocent, ala anak-anak.

Satu diantara dua temannya, umurnya sebaya, menimpali. “Opo awak dewe gawe plinteng wae, ben iso cepet mlayu, ujarnya”. Aku tersenyum melihat tingkah polahnya. Mereka bertiga malu-malu setelah tahu jika aku memperhatikanya. Tak lama setelah itu anak-anak itu lagi-lagi berbisik, “ono cah slemania” sambil menunjuk-nunjuk motor yang aku pake siang itu. Maklum di motor yang aku pakai terdapat tas kecil bungkus kaos bertuliskan “I Love (tanda jantung hati) PSS” berwarna hijau yang aku beli beberapa waktu yang lalu dari salah satu teman slemania cyber. Tas itu sudah berganti fungsi sebagai tempat air minum anakku, atas ide anaku sendiri yang masih berumur 4 tahun.

Obrolan anak-anak itu mengingatkan masa kecilku dulu, sejak SMP aku tak pernah lepas dari sepakbola, tentu PSIM yang aku lihat waktu itu. Kebetulan saya lahir dan besar di sebuah kampung bagian selatan kota Yogyakarta, cukup 20 menit bersepeda menuju stadion Mandala Krida. Waktu itu belum ada Brajamusti, yang ada PTLM (Paguyuban Tresno Laskar Mataram) sebagai kelompok supporter satu-satunya di Yogyakarta. Agak mirip dengan obrolan anak-anak diatas, saya dan teman-teman merasa bangga jika berhasil meloloskan batu dan kelereng sebagai “amunisi” ketika kesebelasan lawan mengungguli PSIM atau wasit yang saya pandang berat sebelah, hanya sekedar itu, tidak lebih.

***
Petang itu, menjelang maghrib, derby antara PSS vs PSIM telah usai. Saya pulang melewati depan perumahan mewah di Kecamatan Depok Sleman. Sesuai aturan saya masuk melalui jalur lambat, jalur khusus sepeda motor. Di depan perumahan itu sangat ramai dengan banyak orang, info yang saya dapat baru saja ada dua orang berbaju Slemania dihadang dan dipukuli rombongan Brajamusti yang baru saja pulang dari stadion Maguwoharjo Sleman. Karena jalan macet, saya menghentikan sepeda motor. Parkir sejenak sambil memperhatikan situasi sekitar. Sekitar 5 meter didepanku, saya melihat rombongan 7 anak kecil dengan menggunakan sepeda onthel lengkap dengan atribut hijau Slemania. Tak ketinggalan bendera kecil yang ditautkan di bagian belakang sepedanya.

Rombongan anak kecil itu berkumpul dan mengelilingi satu diantara 7 orang tersebut. Terlihat satu anak itu menangis. Saya dekati, “ngopo je le?”, tanyaku penuh selidik. “niki lho pak, nangis soale wedi kalihan tiyang Brajamusti”, jawab salah satu anak. “wau wonten tiyang Slemania diantemi”, timpal yang lainya. “Trus niki nggih sedoyo ajrih ajeng wangsul teng griyo”, anak ketiga menyambung. “lha omahmu ngendi”, tanyaku. “niki sak rencang griyane teng Moyudan”, jawab mereka serempak. Saya berpikir anak-anak ini bener-bener militan, dari Moyudan bersepeda, hujan lagi.

Saya sarankan ke mereka, segera copot atribut kalau memang takut. Tak lama ketujuh anak-anak ini segera mencopot baju, bendera dan syal mereka dan ditaruh di sebuah tas kresek hitam. Dengan telanjang dada, mereka pamit ke aku. “pak matur nuwun nggih, kulo sak rencang ajeng wangsul teng Moyudan, mboten nopo2 mangkeh nek masuk angin, niki pun resiko slemania sejati pak, nuwun nggihhh…”, ujar salah satu anak. Saya terhenyak, tak habis pikir, ternyata sepak bola benar-benar bahasa universal.

Dua kasus ini begitu mengejutkan, minimal bagiku. Anak-anak telah menjawab sebuah perlawanan, tidak dalam konotasi negative. Perlawanan merupakan simbol keberanian ataupun simbol menghadapi situasi sekitar untuk kemudian menentukan sebuah sikap yang akan dilakukan. Semoga saya tidak salah menentukan pilihan kata. Bisa juga anak-anak tersebut, dengan kapasitas masing-masing, telah menunjukkan sebuah militansi. Militansi yang sering didengungkan oleh kelompok-kelopok supporter di Indonesia hingga saat ini.

Militansi, dalam kamus besar bahasa Indonesia kurang lebih mempunyai arti ketangguhan dalam berjuang menghadapi kesulitan atau berperang. Bersemangat tinggi, penuh gairah dan berhaluan keras. Militansi tidak ditawar-tawar lagi, ini sebuah resiko perjuangan yang harus dihadapi baik secara individu maupun kelompok. Militansi tidak berdiri sendiri, harus ada obyek, subyek dan predikat. Militansi adalah produk dari sebuah obyek yang berlawanan. Dalam sepakbola, apalagi derby telah memunculkan api-api militansi di kedua belah pihak.

Perseteruan kelompok supporter PSS dan PSIM, menurut catatan saya sudah sejak tahun 2004 telah memunculkan miltansi di kedua belah pihak, baik itu Slemania dan Brajamusti. Namun karena sepakbola merupakan bahasa universal, anak-anak pun ikut terlibat dalam konsep militansi ini. Sekelompok anak kecil di kecamatan Wirobrajan memaknai militansi dengan menggunakan peralatan “tempur” seperti batu dan plinteng. Mereka akan menyerang lawanya dengan alat-alat yang sudah disiapkan. Namun sekelompok anak-anak dari Moyudan melihat kesebelasannya bertanding dengan bersepeda onthel. Ketika mereka menemui kesulitan dan ketakutan dijalan kemudian menyelesaikanya dengan mencopot atribut dan pulang ke rumahnya dengan bertelanjang dada.

Sayangnya saya tidak mencoba “memotret” kedua kelompok anak-anak ini menjadi lebih dalam, lebih in depth. Saya hanya melihat permukaan saja. Namun bagi saya, ini merupakan kecenderungan, proyeksi sebuah sikap militansi dengan gaya masing-masing. Ini sangat dipengaruhi dengan style masing-masing kelompok supporter dalam mensikapi dan mendukung kesebelasan masing-masing. Pengurus Slemania, menurutku masih bisa mengendalikan anggotanya yang berjumlah ribuan. Sehingga bagi Slemania, menonton sepak bola merupakan sebuah tontonan murni. Konflik, saling lempar dengan supporter tamu jarang bahkan tidak terjadi di stadion Maguwoharjo. Secara otomatis, hal inilah yang juga ikut andil “mendidik” slemania menjadi supporter yang tidak paham situasi dan kondisi.

Saya pernah menolong seorang Slemania yang dihajar oleh sekelompok supporter Brajamusti di ring road utara, saya coba korek informasinya. “Kenopo koe lewat mbarengi rombongan Brajamusti”, tanyaku. Jawabnya amat singkat, “kulo niki mboten ngerti nek Brajamusti niku mungsuhi Slemania”. Kejadiannya tahun 2009, masih sangat fresh, belum ada setahun. Bagiku ini sangat fatal, seseorang tidak mengetahui situasi dan kondisi. Bagi dia (korban pemukulan tersebut) seluruh supporter sepakbola dianggap sama seperti Slemania. Anti anarki dan supporter sopan.

***

Dua kasus kelompok anak-anak tadi mencerminkan kondisi masing-masing kelompok supporter, namun demikian inilah salah satu contoh militansi yang berhasil ditunjukkan, tentu dengan cara dan gaya masing-masing. Saya yakin bahwa anak-anak ini tidaklah mendapatkan “pendidikan” dari masing-masing orang tuanya. Mereka hanya melihat lingkungannya, melihat perilaku masing-masing orang dewasa disekitarnya. Anak-anak itu sendirilah yang akan melakukan apapun seperti yang mereka lihat dengan mata mereka sendiri.

Saya salut, meski sekelompok anak-anak ini telah menunjukkan militansi untuk kesebelasan masing-masing, sesungguhnya anak-anak ini juga merupakan korban. Setiap konflik, perkelahian bahkan perang anak-anak merupakan korban yang sesungguhnya. Dalam hal ini, anak-anak di Wirobrajan telah belajar untuk berbuat kekerasan. Bibit-bibit permusuhan dan kekerasan telah tertanam di otak bawah sadarnya. Sedangkan anak-anak dari Moyudan telah melihat kekerasan didepan matanya sehingga rasa trauma itu akan terus terbayang diotaknya hingga besar nantinya.

Kemudian, apakah yang akan kalian cari dalam persetruan kedua kelompok suporter ini? Bagiku militansi tidak identik dengan kekerasan, militansi bukanlah ajang balas dendam. Namun kalau memang kekerasan jalan akhir dari perseturan ini, saya siap ada dibarisan paling depan.

Sebuah renungan kecil
@Sipey, manusia biasa, warga Karangkajen, sekarang tinggal di Sleman (adem dan ra sumpek) dulu pernah mengurusi Slemania Tjaboel (Tjabang Boelaksumur), beberapa kali memposting pendapat pribadi di web www.slemania.or.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar